free page hit counter

Suara

Halus sekali, suara itu pasti jauh. Tapi melengking seperti menusuk-nusuk otak. Ting-ting-ting terus bergema bersahut-sahutan.

Halus sekali, suara itu pasti jauh. Tapi melengking seperti menusuk-nusuk otak. Ting-ting-ting terus bergema bersahut-sahutan.

Kata Ibu, empat hari yang lalu para bapak-bapak yang berjaga malam mendapati maling layaknya ninja dengan lilitan sarung di kepala dan hanya menyisakan bagian mata yang terbuka.

Maling itu sendirian. Tertangkap sekitar pukul empat pagi di mana mata semua orang sedang nyaman-nyamannya untuk tidur. Ia salah perkiraan, rumah yang ia pilih sebagai tempat beraksi adalah rumah pak Rahmat, yang merupakan calon lurah.

Pak Rahmat sedang bangun pagi itu untuk salat tahajud sebagai bentuk meminta kemenangan dari Tuhan. Begitu katanya. Salat bersama ketiga istrinya di musala dalam rumah.

Yang pertama kali mendengar decitan jendela adalah istri kedua, ia kira itu istri ketiga yang sengaja membuka jendela supaya salat tahajud mereka khusyuk dengan udara pagi yang masuk dari jendela.

Sampai salat selesai mereka tak juga sadar bahwa maling telah masuk ke dalam rumah. Mereka sekeluarga benar-benar berdoa dengan ekstra. Dalih menjadi lurah membuat semangat bersujud meski mulut menguap begitu lebar.

Dari keterangan Pak Rahmat, maling masuk lewat jendela kamar mandi belakang kemudian berhenti cukup lama di sana. Dari keterangannya juga, maling itu seperti menunggu Pak Rahmat dan keluarga memulai salat. Kemudian masuk ruang tengah dan kamar utama Pak Rahmat.

Pak Rahmat memiliki ratusan hektare kebun sawit, sudah pasti rumahnya besar dan luas. Meski dilengkapi kamera pengintai, maling seperti hapal betul di mana letak kamera dan dengan mudahnya masuk ke rumah.

Ketika mendengar suara, mereka saling pandang dan ketakutan juga menyeruak dari bola mata istri-istri cantik Pak Rahmat. Dengan sigap Pak Rahmat maju dan diikuti istri-istrinya dari belakang, layaknya Raja yang handal dan adil. Ia membawa pukulan kasti yang ditinggalkan anak pertama dari istri ketiganya di atas sofa tak jauh dari musala.

Celaka, ia tertangkap ketika Pak Rahmat mendengar bunyi pintu lemari dibuka. Maling itu menggerak-gerakkan senter untuk melihat di mana barang yang ia cari.

Sebuah pukulan besar dilayangkan Pak Rahmat ke kepala maling tersebut dan pingsan di tempat. kaki yang masih bergetar, Pak Rahmat mencoba tenang dengan rangkulan dari ketiga istrinya.

Pagi hari barulah ramai. Semua warga desa menjadi yakin untuk memilih Pak Rahmat sebagai lurah yang baru dengan sikap patriotiknya.

Ditambah ketiga istri juga menceritakan dengan versi masing-masing kepada ibu-ibu yang ikut berkumpul. Termasuk ibuku.

“Maling itu terlihat masih muda. Mungkin 30an.” Kata ibuku bercerita sambil menyiapkan bekal nasi untuk aku pergi ke sekolah.

“Kau jangan pulang malam-malam ya, bisa saja kawanan maling itu menjadi maling manusia, tidak lagi maling harta.”

“Tapi keterangan dari si maling ketika di kantor desa juga mengejutkan, kau tahu kenapa? Katanya ia memalingi rumah Pak Rahmat bukan untuk mengambil hartanya tapi berkas-berkas penting pencalonan lurah.”

“orang-orang jadi berpikir bahwa kemalingan itu didalangi oleh lawan Pak Lurah.”

Aku terus mendengar cercahan cerita dari Ibu. Sebelum pergi sekolah, kusalami tangan Ibu dan mengucap salam.

Sambil terus menggowes sepeda, aku memikirkan cara paling aman untuk menceritakan kejanggalan yang terjadi di telingaku, sehabis peristiwa itu. Peristiwa delapan tahun lalu.

Waktu itu umurku lima tahun. Ayah belum juga pulang dari kantornya padahal sudah lewat magrib. Aku yang baru pulang dari surau langsung disuruh masuk ke kamar.

Mengerjakan pr atau apa pun pokoknya tidak di ruang tengah rumah kami. Raut wajah Ibu penuh gelisah.

Teriakan dan sumpah serapah membangunkanku. Jarum jam menunjuk angka dua. Sudah bisa kutebak teriakan dan tangisan itu berasal dari Ibu.

Tak pernah kutahu alasan Ayah dan Ibu bertengkar. Sungguh mengganggu. Paling tidak sebulan sekali peristiwa selalu berulang dan paginya aku hanya sarapan bersama Ibu. Ayah entah. Muak rasanya mendengar tangisan dan teriakan dan pecahan barang.

Kubuka knop pintu kamar dan berdiri di baliknya. Hanya berdiri dan menyaksikan Ayah berteriak di depan wajah Ibu, dengan baju yang basah karena keringat juga tangan yang terkepal.

Ibu menggunakan baju bermotif bunga selutut basah dipenuhi air mata. Ruangan benar-benar layaknya tempat perang yang pernah ayah tunjukkan padaku. Gelas pecah, piring dan benda-benda hiasan kesayangan Ibu juga berserakan.

Di atas meja ada dua jenis botol. Satu botol berwarna bening dengan isinya air berwarna kecokelatan yang tinggal setengah. Satu botol lagi entah apa, berwarna hitam.

Mereka masih saja bertengkar tanpa melihat aku.

“Kau kira akan ada yang memilihmu jika setiap hari kau hanya mabuk dan tidur dengan perempuan?”

“Pilkada ini urusanku! Kau tak tahu apa-apa!”

“Kau hanya mencintai uang dan kekuasaan! Silahkan lanjutkan urusanmu maka akan kuberitakan pada orang-orang kau bukanlah pemimpin, kau sudah ikut andil dalam pencucian uang petinggi bank tempatmu bekerja!”

Ayah melayangkan tangannya. Suara Ibu melemah dan seketika berjongkok. Seolah ia juga tak rela melihat suaminya tersandung kasus semacam itu. Ketika Ibu menunduk, Ayah dengan langkah sempoyongan. Menuju botol di atas meja.

Aku tahu ke arah mana ia melempar botol, aku lari dan memeluk Ibu. Seketika elingaku berdengung lama dan nyaring. Ibu yang berjongkok menatapku, mengambil alih bagian telingaku yang sudah memerah seperti tersiram darah.

Hampir sebulan aku menginap di rumah sakit. Ibu dan Ayah mengunjungi secara bergantian. Setelah sembuh, hanya aku dan Ibu yang kembali ke rumah.

Sesekali ayah menelepon dan berkunjung. Ibu tak pernah menceritakan apa-apa, kemudian aku tahu dari temanku bahwa ketika Ayah dan Ibu sudah tidak tinggal satu rumah, itu namanya bercerai.
Hari ini pun tak kuketahui alasan mereka bercerai atau alasan aku tetap hidup dengan telinga ini. Telinga aneh ini.

Cukup menderita dengannya. Beberapa kali ia mendengung dan membuat kepala pusing. Bingung ketika, keran air di kamar mandi ibu bisa terdengar begitu jelas padahal aku jauh di halaman rumah. Bahkan air yang keluar dari sana tak akan membuat bak mandi Ibu penuh.

Semakin terganggu oleh suara-suara kecil, seperti bunyi tv tetangga, irisan yang terjadi antara apel dan pisau, bunyi percikan api ketika membakar sampah, langkah anak kecil, gemuruh yang belum datang, detik jam di mana-mana. Aku mendengar begitu banyak bunyi dan aku tak ingin sekolah selama berbulan-bulan.

Sampai akhirnya tangisan Ibu pecah dari bilik kamar. Malam yang hening tapi ramai untukku. Mulai malam itu, kubiasakan diri dan bersikap selayaknya manusia.

Terlalu banyak yang menyumpal di telinga, otakku tidak dapat mencernanya.

Aku mendengar suara itu dengan jelas, suara ting-ting-ting. Suara seperti logam berlaga dengan logam, lengkingannya semakin kuat. Seperti menujuku, benar, logam itu ternyata rantai yang ujungnya disangkutkan pada salah satu kantong celana dan ujung satunya pada ikat pinggang. Persis preman di televisi.

Suara itu semakin kencang, benar-benar dekat. Aku harus ke kamar Ibu. Kubuka mata, seseorang muncul, tepat di depan seperti matanya delapan tahun lalu. Ia mabuk.

Oleh: Ami Khairunnisa

Ilustrasi oleh: Fadhly Zee

Tinggalkan Balasan