free page hit counter

Perjudian “Suara USU”.

Dalam rilis pers tertanggal 26 Maret 2019, pengurus pers mahasiswa SUARA USU memberikan 5 pernyataan/tuntutan sebagai berikut:

  1. Rektor USU telah membatasi kebebasan berekspresi Pers Mahasiswa SUARA USU dengan memaksa mencabut cerpen di portal berita suarausu.co. tindakan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
  2. Rektor USU dengan sewenang-wenang mengeluarkan anggota SUARA USU tanpa ada landasan dan terlalu jauh mengintervensi internal SUARA USU
  3. SUARA USU menuntut rektor USU tidak mencabut status keanggotaan anggota SUARA USU
  4. SUARA USU menuntut diberikan akses meliput, menulis dan menyampaikan berita yang sesuai dengan kode etik jurnalistik tanpa dibatasi
  5. SUARA USU menuntut kebebasan berekspresi.

Pernyataan/tuntutan itu dicetuskan setelah pencabutan status keanggotaan pers mahasiswa USU oleh rektorat secara sepihak terkait unggahan cerpen di website suarausu.co. Cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiranku di Dekatnya” yang dimuat pertama kali pada 12 Maret 2019, dinilai mengkampanyekan legalisasi LGBT. Rektor USU, Prof. Runtung Sitepu mencabut status keanggotaan (memecat) seluruh pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Persma SUARA USU karena pihak redaksi tidak mau mengakui bahwa cerpen yang dimuat itu sebagai perbuatan yang salah.

Dalam pernyataan tertulis pihak kampus menuding cerpen yang ditulis Yael Stefani Sinaga itu mengandung unsur LGBT dan pornografi yang bertentangan dengan nilai-nilai Ketuhanan yang Maha Esa dalam bingkai kebhinekaan.

Di dalam cerpen terdapat kalimat “Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu.” Kalimat ini dianggap berbau pornografi.

“Aku minta maaf. Terima kasih untuk semuanya, Laras. Tapi harus bagaimanakah aku disebut sebagai manusia? Kau mengingatkanku pada ibu. Sejak saat itu aku mulai mencintaimu. Mencintai semua yang ada padamu. Sakit ketika aku harus tahu kau akan berbahagia dengan Aryo bukan denganku. Kau boleh bilang aku gila. Boleh bilang aku wanita tak tahu malu. Tapi izinkan wanita murahan sepertiku untuk menyatakan apa yang kurasakan. Bukankah kau mengajarkanku untuk berani mengungkapkan perasaan? Kini aku buktikan, Laras. Bahwa aku mampu membuatmu bahagia. Menikahlah denganku.” Bagian ini dianggap sebagai dukungan atas pernikahan sejenis.

Walaupun demikian, Yael, sang penulis yang juga menjabat sebagai Pemimpin Umum SUARA USU, seperti dikutip dari voaindonesia.com membantah keras tudingan itu.

“Tidak ada, karena pure saya tidak mengkampanyekan LGBT. Saya tidak mengajak orang untuk menjadi LGBT. Tapi saya ingin menunjukkan kalau ini ada diskriminasi terhadap LGBT. Aku mau menyampaikan kalau kita jangan pernah diskriminasi dengan golongan minoritas,” katanya.

Hingga saat ini belum ada penyelesaian atas permasalah tersebut. Dialog-dialog terbuka beberapa kali dilakukan untuk mencari titik tengah. Pencabutan status keanggotaan ini sontak menyebabkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Tidak sedikit yang mengecam tindakan kesewenang-wenangan pihak rektorat, dan tidak sedikit pula yang mendukung dengan dalih cerpen tersebut bisa menjadi framing bagi masyarakat. (AM)

Tinggalkan Balasan