free page hit counter

Masih Perlukah Debat Capres-Cawapres?

Masih Perlukah Debat Capres-Cawapres?Oleh Alda Muhsi

Debat capres-cawapres termasuk dalam salah satu agenda kampanye yang ditetapkan oleh KPU. Artinya debat menjadi satu rangkaian acara yang harus dilaksanakan. Sejauh ini sudah dua kali debat berlangsung, yakni pada 17 Januari 2019 mengusung tema Hukum, HAM, Korupsi, Terorisme; 17 Februari 2019 mengusung tema Energi dan Pangan, SDA dan Lingkungan Hidup, Infrastruktur. Dan debat ketiga akan berlangsung 17 Maret 2019 mendatang dengan tema Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sosial, dan Kebudayaan.

Debat pertama capres-cawapres sama-sama menempati podium sebagai peserta (walaupun capres mendominasi). Debat kedua hanya ada capres dari kedua kubu di sana yang menjadi peserta. Kedua debat disiarkan langsung oleh puluhan stasiun televisi, baik milik pemerintah maupun swasta (penyokong petahana maupun opisisi). Apa yang dihasilkan setelah dua kali debat itu berlangsung? Yang paling terlihat adalah klaim kemenangan dan fakta kebencian yang semakin besar. Bukan hanya satu kubu, melainkan keduanya. Apa yang terlihat jelas jauh dari apa yang diharapkan. Awalnya adanya debat diharapkan mampu membuka pikiran bagi publik terhadap calon pemimpin dengan pemaparan program-program dan visi-misinya. Namun, yang disajikan ternyata jauh dari ekspektasi.   

Adanya penyelewengan target ini mestinya dijadikan pertimbangan oleh penyelenggara untuk berpikir ulang ketika akan melanjutkan debat ketiga dan seterusnya. Fakta yang ada setelah debat berlangsung kita bisa menyaksikan sendiri bertambahnya postingan-postingan di media sosial, instagram, youtube dan lain-lain yang mencela, mengejek, mencemooh kedua capres-cawapres. Pada tahun sensitif ini perlunya tindakan-tindakan kritis untuk mengurangi perselisihan paham. Bukan malah menambah peluang dengan sajian debat yang kurang efektif. Secara sederhananya debat yang berlangsung dijadikan sumber referensi mencari kesalahan masing-masing paslon untuk kemudian diolok-olok publik. 

Netijen itu maha benar, tidak peduli komentar orang lain. Rakyat juga sudah pintar menitipkan masa depannya di tangan siapa. Jadi baiknya hentikan debat yang hanya berisi kebanggaan diri, menuding kesalahan orang lain, janji-janji dengan kata-kata yang sulit dicerna (untuk mencernanya saja susah apalagi mewujudkannya).

Klaim kemenangan juga dikabarkan masing-masing kubu dengan senjata (sudut pandang yang berbeda) dan analisis-analisis yang dibuat sendiri oleh lembaga-lembaga survey yang sudah berafiliasi. Publik dibuat heran kalau keduanya menang terus yang jadi presidennya siapa, kan gitu? Ya, hal ini lazim karena kebebasan berpendapat itu hak yang dilindungi undang-undang. Namun, yang terlarang adalah membawa pendapat yang salah untuk mempengaruhi publik. Tapi untungnya publik sudah jauh lebih cerdas untuk menimbang dan menakar kadar kebenaran di dapur akal pikiran.

Persoalannya adalah apakah kita ingin membiarkan kondisi politik seperti ini terus merajalela? Kemudian pertanyaan lain apakah debat masih perlu? Ya, kalau perlu ciptakanlah debat yang berkualitas dan mencerdaskan. Dan kalau tidak perlu segeralah hentikan dan tiadakan.


Tinggalkan Balasan