free page hit counter

Bermartabat Karena Ucapan

Bermartabat Karena Ucapan
Oleh Nikmal Abdul

Besok siang Rena sudah harus balik ke Jakarta. Setelah beberapa hari puas menelusuri Danau Toba, tiba pula saatnya rutinitas kuliah dijalaninya. Awal semester sudah mencibir. Kini ia kembali menjalani rutinitas sesuai KRS yang diambilnya. Ini malam terakhirnya di Medan. Gak ada salahnya kuajak ia untuk merasakan suasana malam di Medan. Dengan mengendarai motor, kubawa Rena ke tempat yang memang sering kukunjungi.

Di perempatan pertama, lampu lalu lintas menyala merah. Mobil yang berada tepat di sebelah kanan kami tak sengaja menabrak sepeda motor yang di depannya. Mungkin ia tidak memperhitungkan waktu pengereman. Tapi tabrakan mobil itu tidaklah terlalu menumbuk. Bisa dibilang hanya bersentuhan saja. Buktinya saja lampu belakang sepeda motornya masih hidup terang benderang, tidak ada pecah sama sekali.

Merasa tidak terima, si pengendara motor memutar arah mendekati mobil. Cukup berimpit juga rasanya dengan motor yang kami tunggangi. Seakan tahu yang ditabrak ingin komplain, pengemudi mobil pun membuka jendela.

“Woi, mata kau, lek!” sapa si pengendara motor. Dilanjutlah dengan aksi umpat-mengumpat, adu mulut, dan hal lainnya. Semua itu sangat jelas menjadi tontonan kami.

Sedikit berbisik, Rena pun berkomentar, “Duh, orang Medan seram-seram amat, ya. Parno gue!”

~

Kejadian-kejadian seperti di atas masih saja sering dijumpai di beberapa jalanan di Sumatera Utara. Entah itu di Medan, Siantar, Binjai, atau di mana saja, tapi pertikaian-pertikain mulut antar sesama pengguna jalan sering terjadi. Bahkan bisa saja kamu menyaksikan lebih dari sekali dalam sehari.

Mari kita kaji untung dan rugi dari pertikaian-pertikaian itu. Mulai dari untungnya: mungkin kamu yang menjadi korban ingin meminta ganti rugi. Katakanlah ada yang rusak dari kendaraanmu atau apalah. Tapi ayo pikirkan lagi, memangnya kalau kamu minta baik-baik dengan ucapan yang sopan bakalan tak bisa mencairkan uang ganti rugimu?

Sekarang mulai kita bahas ruginya. Banyak sih, tapi saya hanya mau memberikan 2 kerugian. Pertama, ada begitu banyak tenaga yang kamu habiskan untuk mengikuti emosimu. Marah-marah itu bukan penyelesaian masalah. Yang ada kamu malah lebih lelah, apalagi kalau lagi siang terik dan kebetulan jalanan sedang mendidih—sampai-sampai gak jarang juga aspalnya bisa mengeluarkan uap.

Kedua, masih pada ingat dosa, kan? Hayoloh! Renungkan lagi, dengan kamu mengumpat atau berucap yang enggak-enggak bakal bisa mengurangin pahala kamu, kan? Jadi mulai sekarang harus berubah. Lebih baik dibicarakan dengan baik-baik. Omongin saja apa yang kamu mau sebagai korban atau mungkin negosiasi dengan si korban jika kamu tidak sengaja mencelakakan korban. Tetap bertanggung jawab dan saling menjaga perdamaian di antara sesama masyarakat.

Tanamkan juga budaya malu di antara kita, baik itu malu terhadap orang yang sedang berkendara bersama kita maupun sesama pengguna jalan. Gak enak dong, kalau misalnya dilihat oleh turis—baik itu dari luar kota maupun negeri—jika kita masyarakatnya bertikai di tempat umum. Jadi, mulai sekarang kita berubah, ya. Dengan kita berbicara yang baik dan sopan, kita bisa lebih hemat tenaga yang harus kita keluarkan dan suasana juga bisa menjadi lebih baik lagi. Sadar gak sadar, secara gak langsung kota di mana rumah kita bertengger pun akan terlihat semakin bermartabat karena ucapan penghuninya yang bisa membawa kedamaian.

~

Entah kenapa takdir memutuskan kalau Rena harus menetap di Medan. Tempat ia bekerja menugaskannya untuk pindah ke Medan sejak sebulan yang lalu. Lima tahun yang lalu memang menjadi waktu terakhir kali kami bertemu. Bahkan sebulan belakang saat dia sudah mulai bekerja di Medan pun kami tak memiliki waktu yang pas untuk bertemu.

Tapi lain cerita dengan malam ini. Setelah dipastikan memang ada waktu senggang, langsung saja kami pasang rencana untuk bertemu. Namun sudah sejam Rena tidak menampakkan dirinya. Ditelepon berkali-kali pun tidak mengangkat.

Rena pun datang. Ia meminta maaf atas keterlambatannya. Ternyata ponselnya mati dan kebetulan ia lupa membawa powerbank. Kutanya apakah ia terkena macet, responnya berupa gelengan kepalanya.

“Gue tu tadi, sumpah, ya, udah takut banget, lo. Gue tadi gak sengaja nyenggol cowok. Malah mukanya serem lagi. Ya untung aja si dia ga kenapa-napa. Tapi ya gue takut aja si bakal dibentak-bentak. Saking takutnya, gue tu langsung buka jendala, langsung minta maaf. Mana tau kalo gue langsung minta maaf dia agak melunak kan. Eh, rupanya nyangka ga si lo dia itu sama sekali ga bentak-bentak gue. Gue kira dia bakal ngatain gue yang gimana-gimana, eh taunya dia slow aja kok. Padahal gue udah takut banget. Kebayang kan 5 tahun yang lalu gue lihat sendiri orang Medan kalau ngomong gimana. Sekarang gue lihat udah banyak berubah, ya.”

Tinggalkan Balasan