Studi dari Biro Riset Ekonomi Nasional Amerika Serikat pada Januari 2020, menunjukkan bahwa manusia akan merasa paling tidak bahagia di usia 47,2 tahun di negara-negara maju. Sementara di negara berkembang manusia merasa tidak bahagia di usia 48,2 tahun.
Penelitian ini berdasarkan pengukuran hubungan di 132 negara antara kesehatan mental dan usia yang relevansi meningkat saat ada kesadaran meningkat. Hal ini diteliti oleh Profesor David Blanchflower dari Darthmouth College.
“Ketahanan komunitas yang ditinggalkan oleh globaliasasi telah berkurang oleh Resesi Hebat yang membuat sangat sulit bagi mereka yang rentan mengalami krisis patuh baya dengan sedikit sumber daya, untuk menahan goncangan,” kata David sebagai mamtan pembuat kebijakan di Bank of England seperti dukutip dari Bloomberg, Rabu (16/12/2020).
Parameter ‘ketidakbahagiaan’ digunakan dalam penelitian guna menilai ‘putus asa, kegelisahan, kesendirian, kesedihan, ketegangan, depresi, dan saraf otak. Dari peniliain ini dapat diamati proses merasakan kegagalan, perasaan ditinggalkan dan menganggap diri tak berharga.
Masyarakat secara keseluruhan juga memiliki efek pada kesejahteraan. Bersamaan dengan gejala paruh baya itu, David menganalisis sikap dalam menanggapi sesuatu.
Studi tersebut juga menemukan hubungan antara ‘kurva kebahagiaan’ dan pernikahan di Amerika Serikat.
“Menikah menyampaikan lebih banyak kebahagiaan daripada menjadi lajang dan hal ini adalah kontrol standar dalam persamaan kebahagiaan,” katanya.
Sementara The Guardian melansir alasan mengapa manusia paling tidak bahagia melalui sebuah studi di tahun 2012 yang meneliti simpanse dan orang utan yang menghasilkan bahwa mereka mengalami masa-masa sedih sekira di umur 30 tahunan.
Penulis: M. Rio Fani
Ilustrator: Fadhly Zee