MELIBATKAN APARATUR KELURAHAN DAN DESA DALAM UPAYA PENCEGAHAN RADIKALISME
Oleh: Alda Muhsi
Kelompok paham radikal tidak pernah memilih tempat penyebaran pahamnya secara acak. Tentu mereka memiliki indikator-indikator untuk menyeleksi di mana titik penyebaran akan dilangsungkan. Pemukiman masyarakat menjadi salah satu sasaran yang dinilai memiliki peluang untuk dijadikan lokasi penyebaran dan perkembangan paham radikal. Penilaian itu ditinjau dari segi minimnya edukasi dan informasi yang didapatkan oleh masyarakat setempat terhadap bahaya ancaman dan pola penyebaran paham radikal. Masyarakat yang cenderung kurang peduli tentang ideologi paham radikal karena terlalu sibuk dan lebih mementingkan mencari nafkah menjadi peluang besar untuk disusupi paham radikal. Kesempatan itulah yang diintai dan dimanfaatkan oleh kelompok paham radikal.
Iming-iming kehidupan yang layak menjadi senjata ampuh untuk melakukan penyusupan. Karena keterbatasan informasi, masyarakat yang dijanjikan tentu dengan sangat mudah menerima kehadiran kelompok paham radikal. Masyarakat beranggapan malaikat penyelamat kehidupan sedang turun menyambangi mereka. Upaya yang dilakukan dalam melangsungkan penjaringan biasanya dengan menjual ketimpangan sosial dan ketidakadilan. Isu kecemburuan sosial terhadap kehidupan mereka dan kehidupan pejabat pemerintah digembar-gemborkan untuk memicu amarah dan dendam. Ketika dendam telah bersarang, kelompok paham radikal tinggal menyemburkan api sedikit saja untuk membuatnya marak. Bisa dengan bujukan dan rayuan kalau bersedia ikut ke dalam jaringan kelompok paham radikal akan ada jaminan terhadap kelangsungan hidup yang mapan. Kalau sudah demikian artinya kelompok paham radikal berhasil menambah jumlah simpatisan.
Kalah sudah terjadi demikian siapa yang harus disalahkan dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya?
Tidak perlu mencari-cari siapa yang salah dalam setiap persoalan yang akan maupun telah terjadi. Tugas kita adalah bersinergi untuk mencegah dan memperbaikinya. Biarpun setiap lapisan masyarakat mesti terlibat dalam pencegahan dan penanggulangan persoalan ini, namun peran aparatur kelurahan dan desa tampaknya menjadi kunci utama.
Aparatur kelurahan dan desa yang dimaksud meliputi lurah/kepala desa, lembaga musyawarah kelurahan/desa, Bintara Pembina Desa (Babinsa), Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkantibmas). Pelibatan aparatur kelurahan dan desa ini bukan tanpa alasan. Aparatur kelurahan dan desa dianggap sosok yang paling dekat dengan lingkungan masyarakat, yang mengenal seluk beluk kehidupan di lingkungan setempat, serta mengetahui dinamika sosial, ekonomi, budaya, dan politik masyarakat. Selain itu, sebagai pemimpin di lingkungannya, tentu saja aparatur kelurahan dan desa bertanggung jawab penuh atas keamanan dan ketertiban masyarakat di wilayahnya, yang bisa saja menjadi sasaran kelompok paham radikal dalam menyebarkan pemahaman mereka.
Selanjutnya, langkah apa yang harus dilakukan oleh aparatur kelurahan dan desa dalam upaya pencegahan radikalisme?
Kepedulian aparatur kelurahan dan desa terhadap lingkungannya menjadi modal dasar untuk mencegah penyebaran radikalisme. Modal dasar tersebut mengharuskan mereka untuk memiliki bekal pemahaman yang benar mengenai informasi seputar paham radikalisme dan terorisme, mulai dari perkembangannya dari waktu ke waktu, pola penyebaran yang dilakukan, ciri-ciri dan karakteristik pelaku dan penyebarannya, hingga bahaya dan tindakan pencegahan serta pemberantasan yang harus dilakukan. Ketika aspek-aspek tersebut telah tercukupi barulah kemudian aparatur kelurahan dan desa membuat aturan di lingkungannya terkait persoalan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan keamanan yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan stabilitas keamanan masyarakat setempat. Penertiban administrasi juga jadi bagian penting yang tidak boleh dilewatkan, selain mencatat demografi warga masyarakat secara detail, diperlukan pula pembentukan peta geografis, sosiologis, ekonomi dan politik lingkungannya untuk mengetahui “kemungkinan gangguan di luar kebiasaan/penyusupan” yang berpotensi menggangu/merusak harmoni sosial. Tentu saja tahapan-tahapan ini memerlukan peran serta dan partisipasi aktif dari masyarakat untuk sama-sama menjalankan aturan dengan benar seperti yang telah ditetapkan.
Membangun komunikasi dengan segala pihak
Menyadari pencegahan dan pemberantasan paham radikal tidak dapat diselesaikan sendiri, aparatur kelurahan dan desa harus membangun komunikasi dengan segala pihak, mengingat komunikasi adalah persyaratan dasar bagi pengembangan hubungan konstruktif antara pemimpin dan warga yang dipimpinnya. Bentuk komunikasi yang dilakukan bisa bermacam-macam, mulai dari komunikasi langsung tatap muka, melalui sambungan telepon, pesan, ataupun chat room group messenger, dan bisa pula dengan melakukan kegiatan sosialisasi atau penyuluhan di lingkungan masyarakat, seperti dalam pertemuan rutin warga, forum-forum keagamaan dan adat, forum kepemudaan, dan lain sebagainya.
Selain komunikasi dengan warga masyarakat yang dipimpinnya, dalam upaya pencegahan penyebaran radikalisme aparatur kelurahan dan desa juga mesti saling membuka komunikasi dengan instansi pemerintah lainnya yang terkait, seperti Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), Komunitas Intelijen Daerah (Kominda), Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan foum-forum khusus lainnya yang berkonsentrasi terhadap isu keutuhan bangsa dan negara.
Setelah menjalin komunikasi yang baik tentu diharapkan adanya tindak lanjut misalnya dalam bentuk koordinasi rutin dan terstruktur untuk membangun suatu sistem atau program yang berkelanjutan sebagai wujud dari upaya pencegahan penyebaran paham radikal.