Oleh: Alda Muhsi
Media massa, khususnya media berbasis internet, yang sangat mudah diciptakan dan diakses jadi sasaran empuk para pelaku politik untuk melancarkan politik bisnisnya. Tujuannya bermacam-macam, seperti melawan berita-berita objektif yang menurunkan citra dan elektabilitas si pelaku politik dengan menerbitkan berita-berita baik tentangnya; menerbitkan berita-berita buruk lawan politiknya; dan ada pula yang menerbitkan berita-berita bohong/palsu/fitnah/hoaks perihal lawan politiknya agar menjatuhkan pamor rivalnya tersebut. Selain ketiga hal di atas, ada satu lagi yang paling parah yaitu cara mereka membingkai/membatasi sudut pandang berita, atau istilah asingnya framing.
Eksistensi media massa cetak dan elektronik yang sekarang ini tertinggal jauh dari media online menjadi nilai tambah bagi pelaku media online untuk “menjual diri” kepada para pelaku politik. Proposal pekerjaannya dapat dengan mudah menarik perhatian para pelaku politik. Di sinilah praktik politik bisnis mulai berjalan. Tukar tambah kebutuhan, ganti untung kepentingan.
Dalam bisnis selalu ada untung dan rugi, ketika pelaku politik dan media online sama-sama untung, pertanyaannya siapa yang rugi? Ya, tentu saja rakyat. Salah satu kerugiannya rakyat tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai persoalan politik yang sedang terjadi di negeri ini. Rakyat disuguhkan berita-berita yang tidak terlalu penting, sedangkan berita-berita yang harusnya diterima justru tidak dimunculkan. Jelas ini sebuah pengingkaran terhadap sistem demokrasi yang kita anut. Pertanyaan selanjutnya bagaimana reaksi kita terhadap permasalahan ini?
Berulang-ulang kita mendengar seruan: jadilah rakyat yang bijak! Menghadapi politik baiknya kita memiliki sikap skeptis. Begitu juga ketika menerima berita-berita atau informasi dari media online. Jangan cepat percaya dan jangan mudah teperdaya. Selalu waspada. Oleh karena media massa adalah jantung demokrasi dan politik adalah paru-paru negara, maka peliharalah mereka agar tetap berfungsi sebagaimana mestinya.