Literasi Kedai Kopi sebagai Sarana Tangkal Hoaks
Oleh: Alda Muhsi
Harmonitas kehidupan bermasyarakat dewasa ini tengah mengalami kemerosotan. Peningkatan krisis kepercayaan antar masyarakat dapat menjadi tolak ukurnya. Bahkan untuk bertegur sapa dengan tetangga saja masing-masing saling memasang curiga dan prasangka. “Ada maksud apa di balik sapaannya?” Pertanyaan itulah yang timbul dalam hati. Kondisi ini membuat eksistensi harapan terhadap persatuan dan kesatuan menjadi terganggu.
Salah satu yang melatarbelakangi krisis kepercayaan itu terjadi adalah penyebaran informasi yang sangat bebas dan tidak terbatas di dunia maya. Informasi-informasi yang belum dilakukan validasi, sehingga tidak ada lagi sekat yang menjadi pemilah di tengah masyarakat. Memanfaatkan kepraktisan akses dunia maya, informasi apa saja dengan cepat sampai dan menjadi konsumsi khalayak. Entah itu yang bernilai kebenaran ataupun hoaks. Nyatanya, banyak informasi-informasi tidak benar, penipuan, ujaran kebencian, pencemaran nama baik, dan isu perpecahan yang berseliweran di dunia maya. Sebab itulah yang kemudian menjadikan masyarakat saling menutup diri dan apatis terhadap lingkungan sosialnya. Ketakutan dan kekhawatiran secara otomatis melekat dan mengikis rasa kepercayaan. Akibatnya, informasi bernilai kebenaran yang datang pun akan dicurigai sebagai hoaks. Kita tidak mampu membedakan informasi-informasi yang pantas untuk kita terima dan kita abaikan. Hal itu juga menciptakan keadaan di mana orang baik enggan menjalankan niat baiknya karena takut akan praduga negatif yang telah terbangun.
Kemudahan akses dunia maya menjadi persoalan dilematis dan semacam paradoks yang membingungkan. Pada satu sisi, dunia maya memiliki peran sangat baik di tangan pihak yang memanfaatkannya sebagai fasilitas penunjang pekerjaan untuk meningkatkan taraf ekonomi. Namun, di sisi lain, dunia maya menjadi sosok menakutkan yang mengancam stabilitas ketenteraman masyarakat di tangan pihak yang salah, yang menyebarkan informasi-informasi bohong demi mencapai tujuan pribadi atau kelompoknya.
Fenomena ini merupakan persoalan serius yang patutnya jadi catatan penting untuk segera dituntaskan. Kita tahu, laju perkembangan teknologi informasi tidak bisa dibendung. Ironis memang, bagaimana kita bisa menghambat akses dunia maya untuk membunuh virus hoaks yang berkembang di saat sebagian besar masyarakat menggunakan dunia maya sebagai sumber penghasilan penopang kehidupan.
Apa yang dapat kita lakukan? Bagaimana kontribusi kita sebagai masyarakat yang bijak dalam upaya mengentaskan masalah ini?
Kita bisa memadukan kebiasaan-kebiasaan lokal yang kita punya dengan inovasi kekinian yang dapat menarik perhatian masyarakat luas untuk turut berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Salah satunya dengan menjadikan kedai kopi sebagai posko anti hoaks.
Kita tahu, belakangan ini perilaku masyarakat terhadap konsumsi kopi (ngopi) telah berubah. Jika sejak zaman dahulu para penikmat kopi adalah orang-orang tua, namun sekarang, kopi sudah dikonsumsi semua kalangan. Tidak ada lagi interval usia dalam hal mengkonsumsi kopi. Ngopi sudah dijadikan sebagai tren dan gaya hidup masyarakat. Maka tak heran jika banyak sekali kedai kopi bermunculan, baik yang berkonsep tradisional maupun yang sangat modern. Hal ini bisa kita jadikan sebagai kekuatan dan senjata untuk memerangi hoaks.
Bagaimana caranya?
Menciptakan kedai kopi sebagai sarana membendung hoaks dapat dilakukan dengan pendekatan berbasis diskusi. Mengangkat informasi-informasi yang sedang berkembang di dunia maya untuk didiskusikan bersama, sehingga waktu dan keberadaan kita di kedai kopi menjadi lebih berharga dari sekadar membicarakan hal-hal remeh-temeh yang tidak jelas juntrungannya. Kita bisa memecahkan isu-isu yang beredar di dunia maya dengan saling bertukar ide dan gagasan, untuk menemukan titik terang, apakah informasi yang sedang dibicarakan dapat diterima atau tidak, benar atau hoaks.
Selanjutnya inilah yang kemudian kita sebut dengan literasi kedai kopi.
Literasi kedai kopi
Apa yang dimaksud dengan literasi kedai kopi adalah membangun peradaban literasi yang digelar di kedai kopi. Literasi dalam hal ini diartikan (merujuk kepada KBBI) sebagai kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Secara sederhana, literasi yang dimaksud merupakan sebuah upaya saling tukar pikiran terhadap informasi yang sedang berkembang. Tujuannya untuk mengidentifikasi apakah informasi-informasi tersebut berada dalam kategori benar atau bohong.
Hal ini merupakan inovasi yang bisa kita lakukan untuk membendung penyebaran hoaks. Bagaimana kita menciptakan dan membudayakan kedai kopi sebagai pusat pengolahan informasi yang beredar di dunia maya melalui forum diskusi untuk mencari nilai-nilai kebenaran. Kemudian kebenaran-kebenaran itu kita bagikan sebagai perlawanan terhadap hoaks yang lebih dulu beredar.
Namun perlu diingat, sebelum membagikan informasi di dunia maya, yang harus dipahami bukan hanya informasi tersebut benar atau tidak. Bahkan informasi benar sekalipun tidak serta merta dapat kita bagikan jika informasi tersebut tidak memiliki kepentingan yang mendasar bagi khalayak dan malah akan mengganggu kenyamanan dan ketenangan di dunia maya. Artinya ada dua kali filtrasi yang harus kita lakukan dalam mengolah informasi yang beredar di dunia maya. Pertama, mendiskusikannya dengan warga kedai kopi untuk menentukan apakah informasi tersebut benar atau hoaks; kedua, menelaah bersama dampak yang terjadi jika informasi tersebut dibagikan atau tidak dibagikan di dunia maya. Setelah melewati kedua fase tersebut barulah muncul keputusan apakah tugas kita menjadi buzzer untuk menyebarkan kontra informasi atau klarifikasi informasi tersebut harus diaktifkan atau tidak. Dua fase filtrasi tadilah sebagai penentunya.
Kedai kopi sebagai posko anti hoaks berperan bukan hanya menampung seluruh informasi yang sedang viral untuk didiskusikan bersama, melainkan sebagai medium yang memiliki jadwal rutin untuk melaksanakan seminar, sarasehan, ataupun simposium yang menghadirkan narasumber ahli. Harapannya agar para penghuni kedai kopi memperoleh bekal pengetahuan yang mencerdaskan.