Oleh: Alda Muhsi
Peredaran istilah asing di ruang publik mestinya dapat dikendalikan dengan bijak sehingga informasi yang sampai di tengah masyarakat lebih tepat sasaran. Baik itu subjek penyampai informasi maupun media massa, sebagai penyebar informasi harus menjadi sosok kunci pengendali istilah asing tersebut.
Sebagai contoh, dalam perjalanan penanganan Covid-19, beberapa istilah asing mencuat di ruang publik dan membuat gaduh masyarakat karena kurang memahami maknanya. Sebut saja lockdown, social distancing, physical distancing, dan yang teranyar new normal.
Beberapa istilah asing di atas berhasil membuahkan gaduh di jagat media sosial dengan beredarnya gambar-gambar lelucon yang dibuat dan disebarkan oleh jari-jemari tidak bertanggung jawab. Hal yang semestinya tidak pernah terjadi jika saja kita mampu menyederhanakan atau mengindonesiakan istilah-istilah asing tersebut, sehingga khalayak luas, terutama masyarakat awam, dapat memahami apa yang dimaksud.
Istilah asing yang saat ini santer terdengar adalah new normal. Sebenarnya apa itu new normal?
Ada dua kutipan dari tokoh berpengaruh di republik ini yang bisa kita jadikan acuan untuk memahami new normal.
Pertama, pernyataan resmi Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada 15 Mei 2020.
“Kehidupan kita sudah pasti berubah untuk mengatasi risiko wabah ini, itu keniscayaan. Itulah yang oleh banyak orang disebut sebagai new normal atau tatanan kehidupan baru.”
Selanjutnya, pengertian new normal yang dikemukakan oleh Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmita adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan Covid-19.
Semoga keterangan dari dua tokoh berpengaruh di atas dapat membantu kita untuk memahami istilah new normal yang belakangan gencar terdengar.