Dunia saat ini sudah mudah dijangkau. Dalam sedetik kita akan mengetahui apa yang sedang terjadi walaupun jarak yang jauh. Warga Medan akan dengan mudah mengetahui masalah yang sedang terjadi di Timur Tengah. Begitu juga sebaliknya.
Namun kecanggihan tersebut bukan tanpa masalah. Tantangan yang dihadapi pun makin beragam. Informasi yang tersebar semakin tanpa filterisasi. Akibatnya, orang semakin ribut perihal benar atau tidaknya berita tersebut.
Verifikasi mulai ditinggalkan. Kecepatan informasi membuat tabayyun makin memudar. Orang sudah beranggapan bahwa siapa yang cepat, maka ia dianggap luar biasa.
Hal tersebut menjadi kesempatan bagi para teroris, momen ini ia anggap sebagai celah untuk mengelabui orang-orang agar menuruti ekspektasi para teroris. Menariknya, banyak pula warga sumbangsih membagikan berita-berita tersebut di laman mereka, sehingga makin banyak dibaca. Tak terkecuali warga Sumatera Utara.
Karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT) Sumatera Utara, mengadakan Rembuk Aparatur Kelurahan dan Desa untuk pencegahan terjadinya aksi terorisme (Kamis, 5/9). FKPT mengundang seratus aparatur kelurahan dan desa termasuk babinsa, bhabinkamtibmas, dan jurnalis di Kota Medan dan sekitarnya. Acara ini diadakan di Hotel Grand Kanaya Medan.
Dr. Zulkarnain Nasution, MA dalam sambutannya mengatakan bahwa kelurahan merupakan basis adanya penyebaran dan aktivitas terorisme. Penyebaran tersebut bisa melalui media, baik cetak maupun elektronik, dan juga media sosial. Untuk itu, ia berharap dengan dikumpulkannya aparatur kelurahan ini bisa menjadi fondasi dan basis utama pencegahan terorisme. “Semoga bapak ibu dapat banyak informasi dari kegiatan ini sehingga kita dapat melakukan upaya pencegahan dan pemetaan penyebaran terorisme di daerah tugas kita masing-masing”, terangnya.
Setyo Pranowo SH, MM, Kasi Partisipasi Masyarakat BNPT yang juga menjadi pembicara dalam rembuk ini mengatakan bahwa terorisme itu dibagi menjadi 3 bagian, pra teror, aksi teror, dan pasca teror. Ia menjelaskan bagaimana bahaya terorisme dan radikalisme di Indonesia hingga membuat aktivitas kehidupan bernegara dan berbangsa menjadi kacau. Apalagi, di zaman informasi canggih ini, para terorisme juga memanfaatkan teknologi tersebut. Mereka menyebarkan ideologi, propaganda, dan indoktrinasi dengan gampang melalui media sosial dan dibaca dengan mudah oleh masyarakat.
“Era disrupsi atau banjir informasi menjadikan masyarakat yang tidak siap mengalami kesulitan dalam membedakan mana informasi benar dan yang salah. Situasi ini diperparah dengan semakin merebaknya informasi bohong atau hoaks yang mengalir deras di dunia maya, sehingga membutuhkan kehati-hatian kita untuk bersikap dan cerdas dalam menggunakan fasilitas dunia maya,” katanya.
Ia juga berharap kepada aparatur kelurahan dan desa, termasuk aparat militer yang bertugas untuk aktif dan reaktif dalam menjalankan pencegahan terorisme.
“Di BNPT sendiri kita punya beberapa portal yang siap melawan aksi para teroris di dunia maya. Duta Damai misalnya. Para pemuda yang ada di beberapa daerah termasuk di Sumatera Utara ini aktif melawan berita bohong dan upaya penyebaran terorisme di media sosial. Untuk itu, kita juga harus bisa mendukung mereka melawan berita-berita tersebut,” tambahnya.
“Sebagai petugas keamanan dan penegak hukum, kami berharap kepada bapak polisi dan TNI untuk aktif dan membantu kami dalam melaksanakan pencegahan terorisme karena bapak yang lebih tau seluk beluk aktivitas warganya,” tambah Setyo.
Eddy Sofyan, Tokoh Sumatera Utara yang juga menjadi narasumber menambahkan serta memperkuat argumen Setyo sebelumnya. Dalam pemaparannya, Eddy mengingatkan kepada peserta tentang bahayanya informasi yang bebas. Ia memberi contoh tentang parahnya akibat informasi bebas tersebut, seperti yang tengah terjadi di Sumatera Utara. itu yang membuat gaduh serta teroris mengambil celah agar memperkeruh suasana.
“Kita harus kuatkan strategi komunikasi agar dapat mencegah berita bohong dan ujaran kebencian. Karena berita itu cikal bakal dari munculnya paham terorisme dan radikalisme,” ungkap Eddy.
Ia mengatakan bahwa saat ini ada 43.000 situs portal berita yang aktif di dunia maya. Namun, Dewan Pers mencatat hanya 300an saja yang kredibel dan akuntabel. Puluhan ribu sisanya adalah portal fiktif yang sering memberitakan kabar yang kabur. Untuk itu, diharapkan kepada peserta untuk giat mengecek kebenaran berita. Ambil tindakan yang tepat jika ada menemukan kasus tersebut. (AH)