Sexy Killers: Saat Negara Hanya Mainan Mereka Saja
Oleh: Ahmad Hakiki
3 (Tiga) hari yang lalu, Watchdoc merilis filmnya di Channel Youtube yang kontroversi di tengah hiruk pikuk pemilu 2019. Sexy Killers, membuka tirai elite politik yang bermain di Pemilu hingga kita tau ‘jualan-jualan’ batubara yang mereka dagangkan di bumi pertiwi ini.
Film ini punya beberapa rangkaian kisah. Pertama di Negeri Kalimantan, di pinggiran Samarinda. Imbasnya, banyak sawah rusak, air susah dan kotor, anak-anak meninggal hanyut di kubangan-kubangan yang tak dipedulikan perusahaan dan pemerintahan.
Kemudian bercerita tentang ketakutan warga karena hilir mudik kapal tongkang yang membawa batubara di perairan Karimunjawa. Karena aktivitas itu, terumbu karang di perairan yang masuk Provinsi Jawa Tengah itu rusak.
Kemudian alur pindah ke Batang, Jawa Tengah. Proyek PLTU Batang diproyeksikan mampu menerangi sebagian jawa. PLTU Batang diprediksi menjadi PLTU terbesar di Asia Tenggara. PLTU dapat mengakomodasi kebutuhan listrik 1-2 juta rumah tangga.
Namun, lagi-lagi warga sekitar terkena imbasnya. “Gara-gara orang pandai, gunung dijual, laut ditanami besi”, begitulah warga prihatin dalam film itu.
Setelah itu, kita dibawa ke Bali. PLTU Celukan Bawang, berdiri gagah di pantai sebelah utara Bali tersebut. Petani Kelapa kehilangan banyak buahnya karena efek aktivitas pembangkit listrik. Banyak buahnya mati setelah PLTU berdiri. Selain itu, tiba-tiba penyakit paru bermunculan.
Kemudian PLTU di Panau yang beroperasi sejak 2007. Debu dari asap PLTU masuk ke rumah-rumah. Beberapa warga divonis penyakit paru karena banyak menghirup asap. Ada kira-kira 20 warga yang mengidap penyakit paru, bahkan sampai meninggal. Sampai kita disuguhkan cerita Novi, pengidap kangker bagian atas tenggorokan setelah PLTU berdiri di Panau, Sulteng.
Dibalik terangnya rumah kita, ada kisah-kisah haru dan pilu di belakangnya. Listrik, yang tak lagi bisa dipisahkan oleh kehidupan, ternyata punya problematika yang memilukan. Bukannya ada solusi, tapi di film ini kita dibuat geram karena acuhnya elite negeri. Prihatin. Itu saja kata yang keluar.
Bagaimana kita dibuat geram oleh pernyataan gubernur Kaltim, debat pilpres yang membosankan, dan rangkaian orang-orang yang ‘bermain’ di balik kisah ini. Tak lain adalah seteru dan sekutu pemain Pemilu 2019.
Tafsiran saya, film ini hanya sebagai lampu kuning, bahwa kita benar-benar harus memahami kondisi negeri. Baku hantam di media sosial perkara pilihan, adalah kesia-siaan belaka. Mestinya, yang harus kita perdebatan adalah sudah berapa ratus hektar tanah bumi pertiwi yang rusak dibuat mereka.
Ingat, bencana sudah bertubi-tubi terjadi. Mengancam jiwa dan raga publik nusantara. Kalau kita hanya terkekang di opini identitas, maka siap-siap bencana kan datang merobek-robek kehidupan.
Pemilu kali ini disuguhi film yang sarat makna. Film ini menginstruksikan kita untuk memaknainya. Bahwa pemilu sebenarnya mainan mereka. Senda gurau yang mengakibatkan kita terpecah, kita baku hantam, kita berdebat. Identitas? Saya anggap itu pola saja mendulang suara.
Mari kita pilih orang-orang baik. Bukan memilih orang-orang yang menjadikan negeri ini mainannya. Memperkaya diri sendiri dengan mengobarkan jiwa bangsa.
Film ini sudah memberi informasi tentang pemain inti penghancur lingkungan. Tinggal kita saja yang menentukan. Selamat Memilih!