Obrolan Pemilu Ruang Tamu
Oleh: Ahmad Hakiki
“Said, umurmu sudah 17 tahun. Ini pertama kali kau ikut pemilu, sudahkah kau tentukan siapa yang kau pilih jadi presiden?”
Said duduk di atas ambal hijau sambil menonton televisi. Ayahnya duduk di kursi rotan, bersarung dan sesekali menggoyangkan kakinya. Acara televisi yang mereka tonton ternyata debat calon presiden.
“Nampaknya, hasil penghitungan nanti akan sengit,” Ayah berkata sambil menghempas handuk kecil birunya.
“Yah, kata temanku, calon nomor 3 itu hebat, sudah terbukti punya banyak prestasi”.
“Ah, prestasinya tak mampu menutupi kebohongan-kebohongannya. Lihat jualan kita, besar pasak daripada tiang. Turun hujan sampai ke daun saja. Tekor ayah.”
Said geleng kepala. Ia tidak begitu saja percaya pada ayahnya. Sering Said berselancar di dunia maya, melihat berita dan aktivitas capres nomor 3. Baginya, berita tersebut cukup membuatnya tertarik pada sosok nomor 3. Capres nomor 4 baginya adalah calon yang tak punya prestasi.
“Yah, ini pertama kalinya aku memilih. Jika aku memilih calon yang berbeda dengan pilihan ayah, setujukah?”
Wajah ayah mengerut seperti tak senang. Matanya bergerak cepat bergerak-gerak melihat tv dan Said. Ia menghela, lalu menuangkan air ke dalam gelas yang ada di atas meja di samping kursi. Segera ia teguk air.
“Apa alasanmu memilihnya?”
“Prestasi yah, ayah yang mengiyakan itu, saat Said juara pertama lomba desain grafis setahun yang lalu. Ayah bangga. Lalu ayah katakan kalau prestasi itu harus terlihat. Jika ia bermanfaat bagi banyak orang, itulah prestasi sesungguhnyah. Nah, Capres 3 sudah membuktikannya.”
Ayah Said masih ngotot. Ia menampik alasan yang dikatakan Said. Nampaknya ia lupa kalau pernah mengatakan itu.
Debat sudah dimulai, capres 3 dan 4 mengumbar janji. Sang petahana memulai debat dengan mukaddimah visi misi. Ia memaparkan betapa pentingnya pendidikan. Ia berjanji, akan memperbanyak beasiswa pendidikan tinggi.
Said tersenyum senang. Ia acungkan jarinya ke arah tv sambil menatap ayahnya.
“Benar kan yah, ini kesempatanku untuk melanjutkan pendidikan. Tanpa memperberat ayah. Ayah tenang saja, ini pilihan yang baik.
Ayah masih diam, tak sabar menunggu janji-janji sang kompetitor.
Kini giliran capres no. 4. Ia tak kalah tegas. Berpidato sambil berapi-api. Menjelaskan betapa kondisi pendidikan saat ini sangat memprihatinkan. Isi terakhir pidato, ia berjanji akan memperbaiki pendidikan.
“Nah, dengar itu Said. Kau tak perlu khawatir. Pilihanmu itu gagal. Jangan mau dibohongi lagi.”
Said membalas lagi, ia tetap kekeuh. Ayahnya dianggap emosi sesaat saja. Padahal menurutnya, banyak dari urusan ayahnya yang terselesaikan. Karena semakin mudahnya urusan dipemerintahan.
Ayah menganggap itu semua hasil usahanya. Ia ngotot tidak ada perubahan, sama saja. Yang ia mau, perubahan.
3 jam telah terlewati. Debat sudah usai. Mereka tetap mempertahanlan pilihan, memperkuat gagasan, dan tak mau berubah.
Said mematikan tv. Ia menguap berkali-kali. Saking asyiknya, ia tak sadar bahwa ayahnya tertidur pulas di kursi.
Ia tersenyum. Ia tak tega membangunkannya. Ia teringat betapa ayahnya terus bekerja keras. Setelah kepergian ibu, ayahlah tulang punggung tunggal. Wajar ayahnya kesal dengan rezim.
Namun biarpun begitu, politik adalah pilihan, perjuangan adalah keharusan. Namun, kasoh sayang adalah segalanya. Ayah, sang pejuang, adalah pemimpin segalanya.