Golput, Bentuk Protes Terhadap Penguasa
Oleh Alda Muhsi
Ahmad Hakiki dalam opininya yang dimuat 28 Maret 2018 bertajuk Golput, Pilihan atau Keputusasaan, menyimpulkan bahwa golput adalah salah satu sikap keputusasaan masyarakat akibat hilangnya kepercayaan terhadap janji-janji elite politik. Barangkali tulisan ini menjadi pelengkap dari opini tersebut.
Begitulah adanya, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap elite politik yang memegang kendali negeri atau dengan kata lain pemerintah, penguasa, dianggap sangat berbahaya dan patut diwaspadai. Kenapa? Karena rakyat dapat melakukan apa saja sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang dibuat/diprogram oleh pemerintah. Boleh dibilang ada reaksi dari hilangnya kepercayaan itu.
Sebagai salah satu contoh, hilangnya kepercayaan akan membuat pemerintah/elite politik kesulitan menarik simpati masyarakat dalam kontestasi pemilu. Sehingga masyarakat menjadi sekumpulan pasukan apatis yang menyebabkan tercorengnya sistem demokrasi yang kita anut. Hal itu tentu saja mengakibatkan terhambatnya laju pembangunan dan keseimbangan negeri ini. Sistem demokrasi yang dianut seolah pincang, tidak berjalan semestinya.
Apakah sikap yang tumbuh itu tidak dapat dicegah? Apakah memang sudah tidak ada lagi pemimpin atau calon pemimpin yang dapat dipercaya? Soal kepercayaan memang kian sensitif. Kalau kepercayaan sudah ternodai bagaimana mungkin perdamaian akan tercipta?
Akan tetapi, konklusi yang ingin penulis sampaikan sedikit berbeda dengan Ahmad Hakiki yang mengatakan golput adalah bentuk keputusasaan. Bagi penulis, golput merupakan salah satu bentuk protes masyarakat atas ketidakpercayaannya terhadap elite politik. Golput dijadikan satu cara untuk mengembalikan nurani para elite politik agar lebih memperhatikan kepentingan rakyat. Bisa jadi golput semacam cambukan bagi elite politik bahwa mereka telah jauh meninggalkan masyarakat dan esensi dari pemilu itu sendiri. Golput dinilai sebagai jalan terakhir ketika aspirasi tidak lagi didengar dan demonstrasi hanya sekadar teriakan yang mengganggu telinga para pengguna jalan, tak menyentuh rasa penguasa.
Namun, yang menarik adalah bagi pemerintah, khususnya lembaga penyelenggara pemilu, justru tantangannya ada di sini. Tolak ukur sebuah pemilu dikatakan sukses salah satunya adalah dengan menekan angka golput. Kalau kita lihat dewasa ini bagaimana upaya yang dilakukan untuk menekan angka golput? Apakah sudah efektif? Tunggu jawabannya setelah 17 April.