Oleh: Ahmad Hakiki
Pemilu tinggal menghitung hari. Para calon, baik calon presiden, calon legislatif, baik daerah maupun nasional, berlomba-lomba mendulang suara untuk memenangkan pemilu 2019. Strategi yang digunakan bervariasi, ada yang menjanjikan ini itu kalau menang, ada yang konsolidasi, bahkan ada yang menggunakan strategi menjatuhkan lawan. Tapi bagi kaum golongan putih, atau yang biasa disebut golput, pemilu adalah kegiatan kesia-siaan yang hanya menghabiskan anggaran tapi nihil esensial.
Kaum golput melihat bahwa, para elite hanya menjadikan pemilu sebagai ajang ambil alih kuasa. Substansi dari pemilu itu hilang seiring dengan kenyamanan para elit. Kaum golput merasa, mereka terzolimi dengan janji-janji politik. Faktanya, negara masih punya segudang masalah.
Jika sebagian masyarakat sibuk mengkampanyekan pilihan masing-masing, kaum golput tidak demikian. Kaun golput malah sedih melihat masyarakat yang terus berdebat dan menyatakan bahwa pilihannya paling baik. Kaum golput sedih saat masyarakat beradu sampai-sampai yang dulunya berteman baik, hanya karena pilihan yang berbeda, pertemanan berubah memjadi permusuhan.
Kaum golput bukan berarti ia enggan memilih. Tapi kaum golput sebenarnya punya banyak harapan. Jika ada pilihan yang benar-benar tepat, kaum golput pasti berubah haluan. Hanya saja, berpuluh tahun negara ini merdeka, masih banyak kaum elite yang belum serius mengelola negara.
Karena itulah sebenarnya, golput itu bukan pilihan. Hanya sekedar keputusasaan akibat ketidakpercayaan. Jika golput dianggap berdosa, bagaimana pula memilih tapi di tengah jalan malah terzolimi?
Kaum golput pasti memilih, kalau orang yang maju benar-benar orang yang tepat. Ayo para elit, pilih orang-orang yang kompeten dalam mengelola negara. Jika itu terealisasi, maka kaum golput akan hilang dengan sendirinya. Partisipasi publik dalam mensukseskan pemilu akan semakin besar.