Rabu 12/3 Sumatra Utara hari itu tampak cukup cerah untuk cuaca dan menarik untuk mencari nafkah. Tidak lama berselang naik sebuah “Headline News” yang bunyinya kira-kira: Terduga Teroris Tertangkap di Sumatra Utara. Tidak butuh waktu lama pemberitaan semakin heboh lewat media sosial. Misi berita untuk menyampaikan informasi ke masyarakat pun tersampaikan.
Tak hanya sampai di situ, pemberitaan berlanjut hingga terjadi bom bunuh diri yang menyebabkan timbulnya korban jiwa dan rusaknya rumah-rumah masyarakat di sekitaran rumah pelaku bom bunuh diri. Namun, yang paling menyayat hati dan membuat miris ialah terdapat korban jiwa anak-anak.
Benar saja Sumatra Utara khususnya Kota Sibolga siang itu sedikit repot dan sibuk daripada hari biasanya. Kepala Kepolisian Daerah (KAPOLDA) Sumatra Utara langsung bergerak cepat untuk mengunjungi lokasi tempat terjadinya peledakan bom. Bukan tanpa sebab, melainkan kapolda ingin memberikan jaminan rasa aman kepada masyarakat Sibolga, “tenang aku bersamamu”. Begitulah pesan tersirat jika diistilahkan dengan menggunakan bahasa remaja.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri, Brigjen Dedi Prasetyo dalam keterangan pers menyampaikan para pelaku sudah merencanakan aksinya (bom bunuh diri) dan yang menjadi sasaran adalah aparat keamanan, termasuk di dalamnya kepolisian. Senada dengan itu Kapolda Sumatra Utara juga menyampaikan dalam hal ini pihak kepolisian tidak kecolongan.
Menarik untuk diikuti para pelaku melakukan ini dengan dalih “Amaliah”. Namun, kenapa kepolisian atau aparat keamanan yang menjadi tempat untuk Amaliah mereka? Dan bukankah dengan melaporkan hoax dan hatespeech ke pihak kepolisian juga Amaliah?
Menurut beberapa referensi polisi menjadi sasaran teroris karena dianggap menjadi penghalang bagi mereka dalam melancarkan aksinya. Hal ini menciptakan asumsi adanya pergeseran target serangan teroris, di mana seperti diketahui pada Bom Bali silam warga-warga asinglah yang menjadi target mereka. Semakin kemari pergerseran sasaran itu pun terjadi, Lalu yang menarik ialah bagi mereka yang sudah terpapar paham radikalisme dan terorisme menggangap siapa pun yang berhubungan dengan pemerintahan adalah “thogut”, termasuk pihak kepolisian yang patut diserang. Serangan terhadap kepolisian maupun diharapkan dapat menjadi titik lemah dan ketakutan besar untuk masyarakat.
Menanggapi peristiwa itu, seperti yang disampaikan dalam beberapa kesempatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia menyampaikan agar masyarakat tetap tenang, tanpa mengurangi kewaspadaan, dan tetap melakukan penjagaan lingkungan masing-masing. “Polri akan tetap melakukan kewajiban sebaik-baiknya dalam memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat serta penegakan hukum,” pungkasnya. (F.d)