MENANAMKAN NILAI SOSIAL DAN RELIGIOSITAS KEPADA ANAK KORBAN TERORISME
Kunjungan ke Pondok Pesantren Al Hidayah
Oleh Alda Muhsi, Duta Damai Sumatra Utara
Langit gelap siang itu. Tanda-tanda hujan menyergap langkah kami untuk melakukan perjalanan ke pondok pesantren Al Hidayah. Pondok pesantren ini terletak di Desa Sei Mencirim Kec. Kutalimbaru Kab. Deli Serdang Sumatra Utara. Walaupun hujan turun dengan deras, tidak melunturkan semangat dan tekad kami melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda beberapa saat. Kami berjumlah empat belas orang mewakili Duta Damai Sumatra Utara.
Hari itu tepat 28 Oktober 2018, hari peringatan sumpah pemuda. Sebenarnya kami bukan ingin merepotkan diri dengan memaksa menerobos hujan hanya sekadar mengunjungi pondok pesantren Al Hidayah tersebut. Namun rasanya saat itu adalah momentum yang tepat untuk menunjukkan semangat kegigihan pemuda yang tidak kenal menyerah kepada para santri yang mondok di pesantren Al Hidayah.
Mengapa pondok pesantren Al Hidayah kami pilih untuk dikunjungi? Padahal begitu banyak pondok pesantren yang ada di Sumatra Utara. Jawabannya karena pondok pesantren Al Hidayah berbeda. Perbedaannya dengan pesantren-pesantren lain dapat dilihat dari santri-santri yang menghuni pondok pesantren tersebut. Menarik untuk dikunjungi karena para santri di sana memiliki latar belakang kejahatan terorisme, para santri setingkat SMP, yang rata-rata berumur belasan tahun itu adalah korban terorisme. Untuk itulah penting rasanya bagi kami menularkan semangat positif kepada santri-santri calon pemuda penerus bangsa.
Korban terorisme dibagi menjadi dua, pertama korban eksternal, yaitu masyarakat umum. Dan kedua korban internal, yaitu korban dari pelaku terorisme, semisal anak dan istri pelaku yang meninggal atau ditangkap. Para santri di pondok pesantren Al Hidayah adalah anak-anak korban internal dari pelaku terorisme.
Setelah melalui perjalanan berjam-jam, karena sering berhenti untuk berteduh, akhirnya kami tiba di lokasi. Saat itu pukul satu lebih tiga puluh menit. Sebetulnya perjalanan normal dapat ditempuh dengan waktu satu jam dari kota Medan. Pakaian kami yang sedikit basah membuat dingin di perjalanan kian terasa menyusup tulang, alangkah bahagianya ketika tiba kami disambut dengan kehangatan oleh Ustaz Khairul Ghazali, pendiri pesantren yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Umum.
Siapakah Ustaz Khairul Ghazali ini?
Tentu saja kita akan terkejut ketika mendengar jawabannya. Masyarakat Medan dan sekitarnya mungkin masih ingat serangan yang dilakukan oleh kelompok teroris terhadap Bank CIMB Niaga di Jalan Aksara pada Agustus 2010 silam. Ya, Ustaz Khairul Ghazali alias Abu Yasin adalah otak di balik penyerangan itu.
Mendekam dalam penjara dengan hukuman enam tahun membuatnya gelisah dan menyadari bahwa apa yang dilakukannya selama ini adalah salah. Pencerahan yang datang dari ruang gelap perenungan panjang membuatnya berpikir bergabung ke dalam jaringan teroris adalah sebuah kesalahan besar yang telah dilakukannya. Oleh sebab itu ia memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar. Selama di penjara ia menulis dua buah buku, yaitu Bersama Rasulullah di Pintu Surga (Tadzkirah untuk ‘Pengantin Jihadis’) dan Aksi Teror Bukan Jihad. Kedua buku tersebut bermaksud menjelaskan dan membantah paham yang membenarkan aksi terorisme.
Berbicara mengenai jaringan teroris yang tersebar di Sumatra Utara beliau mengaku sangat gelisah. Jumlahnya yang tidak diketahui secara pasti dan akan terus bertambah tidak dapat dibendung. Bahkan Sumatra Utara telah lama dijadikan basis, markas, tempat persembunyian dan tempat perakitan senjata. Hal itu disebabkan dua faktor, yaitu faktor geografis dan faktor budaya.
“Letak geografis yang bersebelahan dengan Aceh, daerah konflik, menjadi pemicu munculnya pelaku terorisme. Belum lagi senjata-senjata bekas peperangan disumbangkan kepada pelaku terorisme. Kemudian faktor kultural juga mempengaruhi, watak keras mayoritas penduduk Sumatra Utara ketika dipicu dengan ideologi jihadis bisa menyatu dan berjalan beriringan.”
Pada 2015 Ustaz Khairul Ghazali dibebaskan. Artinya hukuman yang dijatuhkan enam tahun hanya dijalaninya selama empat tahun. Kebebasan yang diberikan tidak mutlak, tentu saja kebebasan bersyarat. Saat kembali menghirup udara segar ia mulai menyadari beban psikologis yang diterima oleh anak-anak pelaku terorisme, yang dapat dibilang teman-teman jaringannya. Anak-anak pelaku terorisme itu dikucilkan di lingkungan sekitar. Dicap sebagai anak teroris dan dijauhi oleh teman-temannya. Tentu saja bukan persoalan mudah bagi anak-anak belasan tahun untuk dapat menerimanya. Keprihatinan itulah yang menjadi motivasi bagi Ustaz Khairul Ghazali membangun pesantren untuk menampung anak-anak pelaku terorisme dengan sepenuh hati.
Mendengarkan Penuturan Ustaz Khairul Ghazali
Pesantren diyakini masih sangat efektif menjadi pondasi bagi anak-anak pelaku teroris untuk menyembuhkan beban psikologisnya. Dengan menanamkan nilai-nilai sosial dan nilai religiositas akan membentuk karakter anak-anak tersebut sehingga akan tumbuh kembali kepercayaan diri mereka.
Pendirian pesantren Al Hidayah ini sempat mendapat hambatan. Terlebih dari masyarakat sekitar. Image sebagai mantan teroris yang masih melekat pada Ustaz Khairul Ghazali membuat warga resah dan memasang kecurigaan kalau saja Ustaz Khairul Ghazali memiliki niat lain, yang ingin membentuk jaringan baru dengan mengumpulkan anak-anak mantan teroris. Tuduhan itu dianggapnya wajar, karena pelaku terorisme sekarang ini memang masih memiliki aliran darah dari teroris terdahulu, seperti bapak-anak, abang-adik, dan sebagainya. Ia menampik tuduhan itu dengan menunjukkan berbagai hal positif, yakni melalui pengajaran-pengajaran yang benar, yang ditujukan untuk kebaikan santrinya. Dengan hasil yang baik ia meyakini paradigma masyarakat akan berubah.
“Penanganan yang dilakukan lebih ditekankan kepada penanganan psikologis. Karena rasa traumatik dan dendam kepada negara/ polisi yang telah membunuh orang tua mereka masih berbekas. Apalagi awal-awal santri masuk pesantren. Tapi setelah tiga bulan di sini dendam itu sudah tidak ada lagi. Anak-anak di sini sangat membutuhkan perhatian dan perlindungan, bukan hujatan,” sebut Ustaz Khairul Ghazali ketika ditanya kondisi psikis dan penanganan para santri.
Sebelum menemui para santri yang telah berkumpul di masjid, kami memberikan cendera mata kepada Ustaz Khairul Ghazali sebagai ucapan terima kasih karena telah diizinkan berkunjung untuk bersilaturahmi kepada para santri korban terorisme.
Bersilaturahmi dengan Para Santri
Kami berkumpul bersama para santri di dalam Masjid Al Hidayah yang megah. Bangunan berwarna hijau yang diapit ladang ubi dan jagung itu berudara sejuk. Di sana kami ditemani oleh Rabbaniah, seorang Mudabbir, yang bertugas dan bertanggung jawab untuk mengawasi para santri.Masing-masing kami berkenalan dan memberikan motivasi kepada adik-adik di sana. Rabbaniah juga menerangkan banyaknya jumlah siswa dan jam belajar yang berlaku di pondok pesantren Al Hidayah.
“Santri di sini berjumlah dua puluh lebih. Untuk yang menetap, yang tinggal di sini berjumlah dua puluh anak, dan sisanya ada beberapa anak warga sekitar dengan sistem belajar-pulang. Para santri di sini setara dengan sekolah SMP dari kelas satu sampai kelas tiga. Pagi hari mulai belajar jam tujuh sampai jam dua belas dengan pelajaran umum. Kemudian setelah makan siang, jam dua baru dimulai pelajaran pondok (agama) hingga sore menjelang magrib.”
Kami melihat jumlah santri yang sedang berkumpul tidak sampai dua puluh orang. Ketika ditanya, Rabbaniah mengatakan beberapa santri pulang ke rumah orang tuanya. Memang biasanya sebulan sekali para santri diizinkan untuk pulang pada hari minggu. Kebetulan pada hari minggu aktivitas belajar-mengajar di pesantren diliburkan.
“Hari minggu memang dikhususkan untuk libur belajar, tapi kita menggantinya dengan kegiatan olahraga, memancing, dan berladang. Hal ini diyakini dapat memberikan pengajaran nilai sosial kepada para santri. Jadi selain memberikan pengajaran tentang nilai religiositas kita juga mengajarkan nilai sosial kepada para santri. Ke depannya kita akan menanam beras sebagai penghasil bahan pokok, jadi kita tidak perlu membeli lagi. Nantinya semua kebutuhan kita telah tersedia di sini. Hal ini untuk mewujudkan kemandirian.”
Sebelum menutup pertemuan tidak lupa kami menyerahkan bingkisan alat-alat belajar yang telah kami siapkan. Setelah itu kami berfoto bersama. Pose terbaik mereka tunjukkan. Ah, sudah tidak tampak gurat masa lalu yang kelam membayangi wajah mereka.
Aku menyaksikannya sembari berkata dalam hati, “Senyum kalian adalah energi untuk membangun cinta. Tidak ada yang lebih baik dari rangkulan. Masa silam bukan halangan untuk terus tumbuh menjadi pemuda bijak. Kami di sini bersama kalian, pemuda masa depan. Mari kita saling merangkul, bukan memukul.”