Saat ini pola penyebaran radikalisme menyasar kepada kaum muda. Metode pembaiatan yang awalnya bergerak di bawah tanah, kini secara terang-terangan terbuka ke publik. Media sosial dipilih karena sebagian besar penggunanya adalah anak muda. Dapat dipastikan sebagian besar hidup anak-anak muda dihabiskan untuk menggunakan media sosial. Kecenderungan ini yang pada akhirnya membawa kepada sebuah permasalahan jika tidak diatur secara jelas regulasinya oleh pemerintah.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) baru saja mengumumkan data survei pengguna internet Indonesia 2017. Pada tahun itu sebanyak 143,26 juta masyarakat Indonesia telah menggunakan internet. Pengguna internet yang ada di usia produktif, atau di kisaran usia 19 hingga 34 tahun yang merajai penggunaan internet, dengan jumlah pengguna hingga 49,52 persen.
Ainur Mardiyah, salah satu mahasiswi perguruan tinggi di Sumatera Utara ini misalnya, mengaku menghabiskan 5-6 jam per hari untuk menggunakan media sosial. Baginya, di era teknologi saat ini, kebutuhan menggunakan media sosial sangat tinggi. Komunikasi yang cepat dan praktis menjadi alasannya menggunakan media sosial. Lain hal nya dengan Septianto, pelajar SMK di kota Medan ini mengungkapkan bahwa baginya media sosial hanyalah wadah berjejaring, dia juga mengungkapkan hanya menggunakannya 3-4 jam per hari tergantung intensitas komunikasi yang dimilikinya.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa akses generasi muda memainkan internet cukup potensial untuk terpapar faham radikalisme, khususnya generasi muda. Konten yang tidak baik akan mempengaruhi pola pikir dan pada akhirnya akan bermuara kepada perilaku radikalisme yang tentu saja membahayakan bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Salah satu upaya menangkal radikalisme tentu saja dapat mengambil pelajaran dari kearifan lokal di daerah tersebut. Sebagai provinsi yang memiliki multi etnis, Sumatera Utara banyak memberikan pelajaran dari nilai-nilai kearifan lokal. Salah satunya adalah Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu dikenal sebagai sistem hubungan sosial yang sangat kental dalam kompleksitas hubungan sehari-hari. Dalihan Na Tolu diterjemahkan dengan istilah tungku nan Tiga. Fungsinya sebagai pedoman yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tata laku dan perbuatan dalam nuansa kebudayaan.
Oleh karena itu Dalihan Natolu merupakan satusistem budaya yang bagi orang Batak Toba nilai yang dikandungnya dijadikan teladan hidup dan sekaligus menjadi sumbermotivasi berperilaku. Orang Batak Toba menghayati Dalihan Natolu sebagai satu sistem nilai budaya yang memberi pedoman bagi orientasi, persepsi, dan defenisi terhadap kenyataan atau realitas (Harahap Siahaan, 1987).
Nilai-nilai kearifan lokal ini tentu saja menjadi cara efektif sekaligus jurus bagi generasi muda untuk menjadikan setiap langkah dan pemahaman selalu terarah dan terkendali dalam balutan pelajaran dan sistem kekerabatan yang kental, dengan kata lain kebersamaan dan saling menguatkan salah satu cara efektif untuk menjauhkan pemahaman dan pemikiran untuk bersikap radikal.
Dalam sistem masyarakat Batak, Dalihan Na Tolu menjadi semacam falsafah dan nilai-nilai budaya yang dilestarikan dan diamalkan sebagai sebuah nilai sakral dan menjadikan masyarakat saling memperkuat satu sama lain dan saling melindungi dari nilai-nilai asing yang masuk ke dalam sebuah sistem masyarakat tersebut.
Bila dicermati, Dalihan Na Tolu bukan hanya milik masyarakat Toba, namun secara keseluruhan Dalihan Na Tolu dianggap sebagai sebuah sistem kekerabatan yang kuat. Contoh lain, di sub Suku Batak Mandailing, salah satu sub Suku Batak yang banyak mendiami di daerah Tapanuli Bagian Selatan. Dalihan Na Tolu dalam sistem suku Batak Mandailing mempunyai nilai kekerabatan yang cukup kental. Nilai kekerabatan ini juga yang mengikat dan menjadikan setiap unsur-unsur lapisan elemen masyarakat menjadi satu padu dan upaya ini tentu saja menghadirkan kebersamaan yang tujuannya menghindarkan perpecahan.
Dalihan na toluyaitukahanggi (teman semarga),anakboru (pihak pengambil isteri), danmora (pihak pemberi istri).Dalihan na toludianalogikan dengan tiga tungku,yang biasanya batu yang dipakai untuk menyangga periuk atau kuali ketika sedang memasak. Jarak ketiga tungku adalah sama, sehingga ketiganya dapat menyangga dengan kokoh alat memasak di atasnya. Titik tumpu periuk atau kuali berada pada ketiga tungku berada bersama-sama dan mendapat tekanan berat yang sama. Periuk dapat diartikan sebagai beban kewajiban bersama atau sebagai kerja bersama atau lazim yang disebuthorja. Seluruh tatanandalihannatolumendapat bagian dalamhorja. Karena itu,dalihannatoludiartikan dengan tiga tungku, menunjukkan kesamaan peran, kewajiban dan hak dari ketiga unsur dalamdalihannatolu. Dalihannatolusebagaibasic structureadat Mandailing sangat dominan dalam pelaksanaan prosesi adat. Nenek moyang di zaman dahulu selalu belajar dan mengambil hikmah filosofis dari alam lingkungan mereka sendiri. Benda-benda dantumbuh-tumbuhan yang ada di sekeliling menjadi guru yang sangat berharga dan berpengaruh besar dalam kehidupan masyarkat pada waktu itu dan kenyataannya dalam banyak hal masih dipakai dan dilestarikan sampai saat ini sepanjang tidak bertentangan dengan agama Islam.
Selanjutnya Dalihan NaTolu memiliki budaya musyawarah, dimana perbedaan pendapat sangat di hargai. Perdebatan sebagai akibat perbedaan pendapat dalam musyawarah tidak akan menemui jalan buntu atau mengakibatkan perselisihan karena di dasari suatu tujuan untuk mencapai mufakat dan dilandasi nilai-nilai gotong-royong. Sejumlah ungkapan tradisional dapat meredam perselisihan serta membangkitkan semangat kegotong-royongan. Beberapa ungkapan-ungkapan tradisional tersebut antara lain :
Sahata sa oloan
Sapangambe sapanaili
Satahi dohot dongan
Maroban sonang pangarohai
Songon siala sampagul
Sai rap tu ginjang rap tu toru
Muda malamun saulak lalu
Muda magulang sai rap margulu
Tali nipatali-tali
Baen ihot ni simbora
Tahi nipatahi-tahi
Betak i dalan mamora
Norma-norma adat, ajaran agama,partuturan,dalihannatolu, dan nilai-nilai yang melahirkan suasana keharmonisan serta kepekaan terhadap perubahan lingkungan hidup merupakan nilai-nilai yang disosialisasikan. Ketertiban hubungan tiga unsur dalihan na tolu dijaga dan dipelihara. Keharmonisan hubungan antara unsur berlangsung atas dasar keseimbangan yang serasi antara hak dan kewajiban.
Masyarakat Mandailing yang berada di Sumatera Utara juga memiliki budaya atau tradisi-tradisi yang di dalamnya mengandung aspek tolong-menolong. Mereka berusaha tetap mempertahankan tolong-menolong yang di dalamnya mengandung nilai-nilai luhur yang diwarisi dari generasi ke generasi. Hal ini dapat terlihat pada tradisi-tradisi pengelolaan lingkungan. Salah satunya masyarakat Mandailing masih melakukan tradisi marsialapari. Dalam tradisi marsialapari tersebut ada tradisi bergotong-royong dalam mengerjakan sawah, sehingga pekerjaan yang berat akan terasa ringan apabila dikerjakan bersamasama. Tradisi marsialapari merupakan tradisi dalihan natolu yang menganut saling memikul, bahu-membahu, seperti pepatah berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Menurut Abdullah Nasution, tokoh adat setempat biasanya anak-anak muda atau yang sering disebut dengan Naposo-poso atau muda mudi turut serta aktif membantu kegiatan ini, bersama-sama turun ke sawah untuk sama-sama membantu dan bergotong royong. Inilah bentuk tradisi yang telah mengakar dan menguat antar lapisan masyarakat satu sama lain. Hal ini membuktikan bahwa kearifan lokal turut mengurangi berkembangnya sistem radikal di tengah-tengah masyarakat.
“Masyarakat Mandailing merupakan masyarakat yang kental akan menjalankan ibadahnya terlebih hampir seluruhnya masyarakat Mandailing adalah muslim, jelas dengan ketaatan dan saling bekerja sama dalam tatanan kehidupan sehari-hari kami dihindarkan dari penyebaran faham radikalisme terutama bagi anak-anak muda”, ungkapnya.
Potensi anak muda yang bergerak menuju generasi yang memanfaatkan teknologi memang tidak dapat dibendung lagi, namun yang pasti dengan menanamkan salah satu nilai seperti falsafah Dalian Na Tolu ini, anak-anak muda memiliki kekuatan dan saling menguatkan satu dengan yang lain untuk sama-sama melawan faham radikalisme. Apalagi ketika anak muda dihadapkan dengan masuknya ajaran-ajaran asing yang ditengarai menuju kepada paham radikalisme, setidaknya mereka sudah mempunyai proteksi dari dalam diri sendiri untuk bersama menjaga dan menghindarkan diri dari faham yang mencoba meluluh lantakkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Horas, Mejuah-Juah, Njuah-Njuah, Ya’ahowu, Ahoii,,
Dari Sumut Untuk Indonesia Damai
penulis : Muhammad Hisyamsyah Dani
Ilustrasi : Enggar Tyas