Awal tahun 2010-an banyak media sosial (medsos) bermunculan menghiasi kemeriahan jagat maya. Ada yang masih bertahan dan tetap eksis sampai sekarang, namun ada pula yang sudah gulung tikar. Demam medsos yang pada awalnya hanya menjangkiti kalangan muda sudah merambah ke publik dewasa (generasi orang tua). Mungkin hal itulah yang membuat gegap gempita medsos langgeng sampai kini.
Dalam memfungsikan medsos, kedua kalangan ini berbeda paham. Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan dalam lingkaran pertemanan medsos dan dunia nyata (orang-orang sekitar) menunjukkan kecenderungan kalangan muda (usia di bawah 50 tahun) kerap mengunggah status, foto, kegiatan, dan lain-lain di media sosialnya mengenai pengembangan diri (dalam ranah sekolah, kuliah, dan pekerjaan), eksistensi dalam berkarya (pencapaian-pencapaian yang telah diraih), produk-produk yang dimiliki (baik untuk ajang promosi jualan, endorsement maupun sukarela atau pamer). Sementara itu dalam menanggapi status orang lain (pengguna medsos lain), kalangan muda kerap memberikan pesan yang penuh kesan memaksa (hanya sekadar basabasi, ikut meramaikan, daripada tidak memberikan komentar), ada juga yang nyinyir atau mencibir (biasanya kepada figur publik yang terkena masalah), dan membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain (biasanya tentang kesulitan dalam menjalani kehidupan. Tiap orang selalu ingin menampilkan bahwa dirinyalah yang paling susah, dirinyalah yang paling tidak beruntung, dirinyalah yang mendapat kesialan paling sial).
Sementara itu, kalangan tua (usia di atas 50 tahun) tampaknya memanfaatkan media sosial lebih fokus dalam hal yang positif. Tanpa melebar-lebarkan fungsi media sosial, para orang tua cenderung menggunakan media sosial untuk menyambung silaturahmi dengan teman atau sanak famili yang terpisah jarak dan membagikan momen kebersamaan dengan keluarga. Dalam menanggapi unggahan pengguna lain, kalangan tua lebih jujur menyampaikan komentar-komentarnya, dan kalau tidak ada yang mesti ditanggapi ya tidak ditanggapi. Tidak ada sebuah keharusan yang mendesak hati untuk mengomentari unggahan pengguna lain tersebut.
Namun, di sisi lain dalam menerima kiriman-kiriman informasi hoaks, kalangan muda lebih bisa menolak atau memfilter informasi tersebut, sedangkan kalangan tua menerima mentah-mentah dan malah meneruskan informasi yang tidak benar tersebut kepada teman-temannya.
Perbedaan dalam memfungsikan media sosial di kalangan muda dan tua ini sebenarnya dapat dikolaborasikan untuk menyaring manfaat-manfaat yang positif dan membuang yang negatif. Kalangan tua mengingatkan kalangan muda untuk menggunakan media sosial sebagai ajang silaturahmi saja, menanggapi unggahan orang lain dengan hati terbuka dan penuh kejujuran.
Kemudian kalangan muda bisa mewanti-wanti kalangan tua langkah yang harus dilakukan dalam menerima kiriman informasi hoaks atau yang belum tentu kebenarannya, yaitu dengan mencari dan memverifikasi informasi serupa tentang berita tersebut dari sumber yang kredibel. Nah, pertanyaannya bagaimana hal tersebut dapat terwujud? Bisa mulai dari keluarga kita sendiri.
Teks: Alda Muhsi
Ilustrasi: Fadhly