Kampanye Hitam Dongkrak Elektabilitas
Oleh : Alda Muhsi
Belakangan “Hitam” sering kali dijadi makna yang terkesan negatif apalagi dalam tahun politik ini contoh saja, “Kambing Hitam, Kampanye Hitam”, Harus disadari sejak dini Kurang dari 30 hari menuju hari pencoblosan serangan demi serangan untuk menjatuhkan semakin gencar dilakukan oleh masing-masing kubu. Persaingan ketat antara dua kubu yang boleh dibilang tanding ulang ini menciptakan banyak peristiwa unik. Salah satunya adalah pertukaran nomor urut. Jikalau pada tahun 2014 Prabowo mendapat nomor urut 1 dan Jokowi mendapat nomor urut 2, kali ini posisinya telah bertukar. Jokowi pada nomor 01 dan Prabowo pada nomor 02.
Hal ini dinilai merupakan celah untuk kemudian dijadikan sebagai peluru serangan di media sosial. Mengapa dikatakan demikian? Mari kita uraikan.
Media sosial masih menjadi alat kampanye, alat mempengaruhi publik yang sangat efektif. Aksesnya yang begitu mudah dan jangkauan yang luas dinilai akan berpengaruh besar dalam menggiring opini publik. Tujuannya tentu saja meraup elektabilitas.
Jaminan meningkatkan elektabilitas tidak serta merta dapat diraih hanya dengan menampilkan dan menyebarkan citra baik sang calon. Untuk meningkatkan hingga mencapai dua kali lipat strategi yang dipasang tentu saja harus ditambah, yakni dengan menyerang dan menjatuhkan lawan serta mencari dukungan dari tokoh berpengaruh (yang memilili massa dalam jumlah besar). Seorang tokoh dijadikan jaminan menjaring suara karena mereka dianggap dapat menggerakkan massa untuk mendukung calon yang didukungnya.
Belakangan ini fakta yang tampak di tengah kita adalah beredarnya foto atau video tokoh-tokoh berpengaruh untuk menyatakan dukungan terhadap salah satu paslon. Ada yang menyinggung bahwa tokoh A berpindah dukungan, tentu saja disertai potongan foto atau video yang menampilkan pose dan bicara yang menyatakan mendukung paslon nomor urut tertentu. Padahal foto dan video yang ditampilkan adalah barang lama. Karena pada tahun ini telah terjadi pertukaran nomor urut, maka tokoh tersebut dianggap bertukar pilihan pula. Jelas-jelas ini hoaks yang sangat meresahkan.
Kalau kita mau telusuri foto dan video itu adalah produk lama yang sudah basi, dan bisa jadi yang tidak ada kaitannya dengan pemilu 2019. Tentang pengakuan tokoh yang berpihak pada nomor urut 01 atau 02, bisa jadi itu adalah foto/video pada saat pilkada tahun-tahun sebelumnya.
Ya, begitulah pola penyebaran kampanye hitam yang berkembang saat ini. Untuk itu kita diminta waspada dan jangan mudah terprovokasi.
Sebagai masyarakat yang hendak memilih pemimpin masa depan, penulis mengimbau agar kita jangan terlalu cepat percaya pada apa yang kita lihat dan terima di media. Jangan terlalu fanatik hingga mengabaikan prinsip-prinsip kesopanan, pertemanan, dan kekerabatan. Berbeda pandangan boleh dan sah-sah saja, itulah seni demokrasi. Namun, yang jadi masalah adalah ketika kita bertengkar hingga mengeluarkan kedongkolan dalam hati, enggan bertemu, jutek dan panas ketika tersinggung. Itu tandanya fanatisme yang ada pada kita adalah sebuah kebodohan hakiki.
Persoalannya ada pada kebesaran dan kerendahan hati. Mari besarkan dan lapangkan hati untuk menciptakan pemilu damai. Semuanya bisa dimulai dari damaikan hati.