free page hit counter

Menyusur Pasar Tikung Pasar Wisata Pertama di Kota Medan

Alangkah terkejutnya mereka berdua menyaksikan transformasi Pajak Inpres yang kini telah menjadi Pasar Tikung. Betapa tidak, pajak yang dulu kumuh tak teratur kini telah menjelma pasar modern yang rapi dan indah dipandang mata.

Grrr… grr… grr….
Ponsel Mak Neti bergetar disusul oleh lagu Ambyar milik Lord Didi Kempot sebagai nada deringnya. Mak Neti buru-buru menerima panggilan itu sebelum lagu usai berputar.
“Halo, Mak Net, aku sedang di jalan ya menuju rumahmu!”
Ada angin apa di tengah musim kemarau yang panas ini tiba-tiba Sakdiyah, sepupunya dari kampung hendak datang berkunjung.
“Oi, Mak Diyah kok gak bilang-bilang. Hajablah ini gak ada persiapan apa-apa.”
“Udahlah selow aja, Mak Net, yang penting bisa jumpa kita, berkombur sambil makan bakwan pun gakpapa.”
Begitu telepon dimatikan sontak Mak Neti bergegas ke pasar membeli bahan-bahan untuk menjamu sang tamu.
“Wan, kalok kau mau ikut cepat ganti baju, uwak kau dari kampung bentar lagi datang, mamak mau belanja dulu biar gak apa kali.”
Semenit kemudian Mak Neti dan Wawan telah berada di atas sepeda motor menuju pasar. Dan lima menit di perjalanan sampailah mereka di Pasar Tikung.
Alangkah terkejutnya mereka berdua menyaksikan transformasi Pajak Inpres yang kini telah menjadi Pasar Tikung. Betapa tidak, pajak yang dulu kumuh tak teratur kini telah menjelma pasar modern yang rapi dan indah dipandang mata. Ya, Pasar Tikung, pasar yang mengusung konsep Pasar Wisata pertama di Kota Medan.
Setelah memarkir sepeda motor di basement mulailah mereka menyusuri bangunan megah seluas lebih kurang 4.700 meter persegi yang bertingkat empat tersebut. Tentunya mereka memilih menggunakan lift daripada tangga dan jalur ramp.
Lantai 1 tempatnya pasar tradisional yang menjajakan aneka sayur, buah, ikan segar, ayam, dan sebagainya. Di sinilah tempat berbelanja untuk memenuhi semua kebutuhan dapur karena ada sekitar 219 stand dan 170 unit kios di sini.
Lantai 2 merupakan lapaknya pasar modern yang menjajakan barang-barang fashion, baju, kain, sepatu, handphone, kosmetik, pernak-pernik, dan sebagainya. Terdapat sekitar 183 unit kios.

Dan yang sedang eksis adalah food walk (jajanan pasar) berjejer di sisi kiri dan kanan bagian depan. Di sana ada soto, sop, pecal, mi goreng, nasi goreng, rujak, tahu goreng, gado-gado, nasi uduk, lontong, nasi ayam, mi sop, bakso urat, kebab, burger, salad buah, dimsum, kentang goreng, risol, nagasari, donat, telur ayam, bandrek, jus, boba, kopi, thai tea, dan aneka makanan dan minuman lainnya. Di sinilah Mak Neti dan Wawan bersantap sarapan berhubung tidak sempat sarapan di rumah karena buru-buru berangkat.

“Untung ada tempat makan di sini, Wan, kalok enggak demon terus cacing di perut mamak.”
Wawan santai saja, menyantap sotonya dengan lahap, tanpa menghiraukan kata-kata Mak Neti.

Selepas makan mereka melanjutkan penyusuran ke lantai 3, yang berkonsep pasar wisata. Kenapa disebut sebagai pasar wisata? Ya, karena di sini terdapat sekitar 160 unit kios yang menjajakan produk-produk pariwisata Sumatera Utara, ada kerajinan tangan (Suvenir) juga makanan dan minuman khas sebagai oleh-oleh. Singkatnya, di lantai 3 ini berisi usaha-usaha milik UKM.

Mak Neti berniat membeli makanan ringan sebagai teman berkombur dengan Sakdiyah. Namun, ketika sibuk memilih-milih, ia menyadari Wawan tidak berada di dekatnya lagi. Mak Neti pun sibuk, berteriak-teriak memanggil nama Wawan. Penjaga toko tak sempat melihat ke arah mana Wawan pergi.
“Jangan-jangan pergi ke toilet, Mak,” kata salah seorang menenangkan.
“Gak mungkin, tadi udah ke toilet kami sama-sama,” keluh Mak Neti.
“Cobaklah ditengok aja, barangkali masih sesak dia,” saran yang lain.
Mak Neti pun mengikuti saran itu. Ia berjalan ke toilet yang letaknya di belakang sambil menenteng belanjaan di tangan kanan dan kirinya.

Ternyata benar Wawan ada di sana, tapi bukan di toilet. Wawan sedang asyik berlari-larian di Playground bersama beberapa anak lainnya. Mak Neti merasa lega, dan bersyukur juga pasar besar yang modern ini memiliki ruang bermain untuk anak-anak. Ia menjadi semakin nyaman untuk kembali berbelanja di Pasar Tikung, kalau Wawan bosan, tinggal disuruh aja bermain di Playground ini, kan cuma bayar sepuluh ribu, pikirnya.

Karena jam sudah hampir siang, dan Sakdiyah akan segera tiba, Mak Neti dan Wawan bergegas pulang. Mereka tidak sempat mampir ke lantai 4 yang memiliki konsep rooftop. Memang saat ini sedang dalam tahap pengerjaan akhir, dan nantinya lokasi rooftop ini akan berisi food market. Tentu saja akan menjadi tempat favoritnya anak-anak muda generasi milenial hangout bareng teman atau pacar.
Betul saja, lima menit setelah mereka tiba di rumah, Sakdiyah juga sampai. Sakdiyah memasang wajah heran.
“Dari mana? Kok cepat kali belanjanya, lengkap kali pajaknya ya?”
“Iya untung ada Pasar Tikung, dari Avros ini cuma 5 menit sampe ke sana. Letaknya tepat di Jalan Brigjend Zein Hamid, lewat simpang underpass sikit aja. Barang-barangnya pun lengkap. Mau cari apa aja ada.”
“Iya, Wak, enak pasarnya, cantik kali pun. Ada tempat mainan anak-anak juga. Oiya, kalau uwak mau beli oleh-oleh nanti di sana aja ya, biar Wawan ikut. Hehehe…” sambar Wawan.
“Kalaupun mau jualan di situ masih bisa, masih tersedia lapak yang disewakan,” tambah Mak Neti lagi.
“Nah, itu sebenarnya yang ingin aku cakapkan, aku pengen buka usaha di sini.”
“Pas kalilah, aku tadi nyatat narabuhung Pasar Tikung yang siap sedia ngasi info buka usaha, ini nomornya: 0811-604-7711.”
“Mantap kali pun,” seru Sakdiyah puas.
“Eh, masuk dululah kita, di dalam aja cakapnya biar lebih enak,” kata Mak Neti.
Mereka tertawa serentak. Kemudian melangkah masuk ke rumah.


Foto dan Teks oleh: Alda Muhsi

Tinggalkan Balasan